Minggu, 16 Juni 2013

sejarah syekh muhammad arsyad al banjari

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin
Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih
dikenal dengan nama Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari (lahir di Lok Gabang,
17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar,
3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15
Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[1] adalah
ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari
kota Martapura di Tanah Banjar
(Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan.
Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227
hijriyah. Beliau mendapat julukan anumerta
Datu Kelampaian.
Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal
Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi
banyak pemeluk agama Islam di Asia
Tenggara.[2]
Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari , antara lain
Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman
Siddiq,[3] berpendapat bahwa ia adalah
keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan
Abdurrasyid Mindanao. [4]
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad
Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu
Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao
bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin
Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin
Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus
Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus)
bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad
Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark
bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al
Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin
bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad
Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin
Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir
bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam
Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali
Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq
bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al
Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam
Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul
Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa
Sayyidah Fatimah Az Zahra binti
Rasulullah SAW. [3][5][6]

Riwayat
Masa kecil
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad
melewatkan masa kecil di desa kelahirannya
Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana
anak-anak pada umumnya, Muhammad
Arsyad bergaul dan bermain dengan teman-
temannya. Namun pada diri Muhammad
Arsyad sudah terlihat kecerdasannya
melebihi dari teman-temannya. Begitu pula
akhlak budi pekertinya yang halus dan sangat
menyukai keindahan. Diantara
kepandaiannya adalah seni melukis dan seni
tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil
lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada
saat Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke
kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil
lukisan Muhammad Arsyad yang masih
berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian
itu, maka Sultan meminta pada orang
tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal
di istana untuk belajar bersama dengan
anak-anak dan cucu Sultan. Di istana,
Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak
yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan
hormat kepada yang lebih tua. Seluruh
penghuni istana menyayanginya dengan kasih
sayang. Sultan sangat memperhatikan
pendidikan Muhammad Arsyad, karena
sultan mengharapkan Muhammad Arsyad
kelak menjadi pemimpin yang alim.
Menikah dan Menuntut Ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
mendapat pendidikan penuh di Istana
sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian
ia dikawinkan dengan seorang perempuan
bernama Tuan Bajut .[7]
Ketika istrinya mengandung anak yang
pertama, terlintaslah di hati Muhammad
Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk
menuntut ilmu di tanah suci Mekkah . Maka
disampaikannyalah hasrat hatinya kepada
sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia
pernikahan mereka yang masih muda,
akhirnya isterinya mengamini niat suci sang
suami dan mendukungnya dalam meraih
cita-cita. Maka, setelah mendapat restu
dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad
ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.
Deraian air mata dan untaian doa
mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad
mengaji kepada masyaikh terkemuka pada
masa itu. Di antara guru beliau adalah
Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry,
al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh
Muhammad bin Abdul Karim al-Samman
al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru
Muhammad Arsyad di bidang tasawuf,
dimana di bawah bimbingannyalah
Muhammad Arsyad melakukan suluk dan
khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya
dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad
yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul
Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad
Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh
Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm
bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin
Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy
Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul
Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin
Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman
bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul
Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as
Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy,
Syekh Abdullah Mirghani, Syekh
Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan
Syekh Muhammad Zain bin Faqih
Jalaludin Aceh.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh
Muhammad Arsyad menjalin persahabatan
dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh
Abdussamad Falimbani, Syekh
Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul
Wahab Bugis.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu
di Maekkah dan Madinah, timbullah niat
untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat
ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh
menyarankan agar keempat muridnya ini
untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk
berdakwah di negerinya masing-masing.
kerinduan akan kampung halaman.
Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian
mandi yang di arak barisan pepohonan aren
yang menjulang. Terngiang kicauan burung
pipit di pematang dan desiran angin
membelai hijaunya rumput. Terkenang akan
kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia
menanti tanpa tahu sampai kapan
penentiannya akan berakhir. Pada Bulan
Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M,
sampailah Muhammad Arsyad di kampung
halamannya, Martapura, pusat Kesultanan
Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang
yang telah banyak membantunya telah wafat
dan digantikan kemudian oleh Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I,
yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan
Tahmidullah yang pada ketika itu
memerintah Kesultanan Banjar, sangat
menaruh perhatian terhadap perkembangan
serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut
kedatangan beliau dengan upacara adat
kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-
elukannya sebagai seorang ulama "Matahari
Agama" yang cahayanya diharapkan
menyinari seluruh Kesultanan Banjar.
Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah
Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan
ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik
kepada keluarga, kerabat ataupun
masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan
pun termasuk salah seorang muridnya
sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi
wara’ [8] . Selama hidupnya ia memiliki 29
anak dari tujuh isterinya. [9]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun,
Sultan mengabulkan keinginannya untuk
belajar ke Mekkah demi memperdalam
ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung
oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian,
yaitu setelah gurunya menyatakan telah
cukup bekal ilmunya, barulah Syekh
Muhammad Arsyad kembali pulang ke
Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan
Tahlilullah seorang yang telah banyak
membantunya telah wafat dan digantikan
kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin
Sultan Tamjidullah I , yaitu cucu Sultan
Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu
memerintah Kesultanan Banjar, sangat
menaruh perhatian terhadap perkembangan
serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan inilah yang meminta kepada Syekh
Muhammad Arsyad agar menulis sebuah
Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh ), yang
kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab
Sabilal Muhtadin.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di
Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke
kampung halaman dari Mekkah, hal pertama
yang dikerjakannya ialah membuka tempat
pengajian (semacam pesantren) bernama
Dalam Pagar, yang kemudian lama-
kelamaan menjadi sebuah kampung yang
ramai tempat menuntut ilmu agama Islam.
Ulama-ulama yang dikemudian hari
menduduki tempat-tempat penting di seluruh
Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan
didikan dari suraunya di Desa Dalam
Pagar.
Di samping mendidik, ia juga menulis
beberapa kitab dan risalah untuk keperluan
murid-muridnya serta keperluan kerajaan.
Salah satu kitabnya yang terkenal adalah
Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan
kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-
pegangan pada waktu itu, tidak saja di
seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-
seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada
perguruan-perguruan di luar Nusantara
Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai
Darussalam.

Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad
yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal
Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab
Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin,
yang artinya dalam terjemahan bebas adalah
"Jalan bagi orang-orang yang mendapat
petunjuk untuk mendalami urusan-urusan
agama". Syekh Muhammad Arsyad telah
menulis untuk keperluan pengajaran serta
pendidikan, beberapa kitab serta risalah
lainnya, diantaranya ialah:[10]
Kitab Ushuluddin yang biasa disebut
Kitab Sifat Duapuluh,
Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab
yang membahas soal-soal itikad serta
perbuatan yang sesat,
Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang
wanita serta tertib suami-isteri,
Kitabul Fara-idl, hukum pembagian
warisan.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa
pelajaran penting yang langsung
diajarkannya, oleh murid-muridnya
kemudian dihimpun dan menjadi semacam
Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat
syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan
yang berhubungan dengan itu, dan untuk
mana biasa disebut Kitab Parukunan.
Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia
juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam
Kitab Kanzul-Makrifah.

Referensi
1. ^ Radar Banjarmasin -
Peninggalan Datu Kalampayan
2. ^ (Indonesia) Mahsun Fuad,
Hukum Islam Indonesia: dari
nalar partisipatoris hingga
emansipatoris, PT LKiS Pelangi
Aksara, 2005 ISBN 9798451139,
9789798451133
3. ^ a b Syajaratul Arsyadiyah ,
Mathba'ah Ahmadiyah Singapura,
oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan
Guru Sapat, Mufti Kesultanan
Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356
H.
4. ^ Raja Kerajaan Tidung/Tarakan
dari Dinasti Tengara yaitu Sultan
Abdurrasid - keturunan Raja
Kesultanan Sulu
5. ^ Syeikh Muhammad Arsyad Al
Banjari Pengarang Sabilal
Muhtadin, oleh Abdullah Hj W.
Moh. Shagir, Khazanah
Fathaniyah, Kuala Lumpur,
Tahun 1990.
6. ^ Maulana Syeik Muhammad
Arsyad Al Banjari , oleh Abu
Daudi, Dalam Pagar, Martapura.
Cetakan Tahun 1980, 1996, dan
2003.
7. ^ (Indonesia) Sudrajat, A.
Suryana (2006). Ulama pejuang
dan ulama petualang: belajar
kearifan dari Negeri Atas Angin
. Erlangga. hlm. 77. ISBN
9797816079.ISBN 9789797816070
8. ^ http://
www.adityaperdana.web.id/
mengenal-syekh-muhammad-
arsyad-al-banjari/
9. ^ Muslich Shabir, Pemikiran
Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari tentang zakat: suntingan
teks dan analisis intertekstual,
Penerbit Nuansa Aulia, 2005
10. ^ (Melayu) Abdul Rashid Melebek,
Amat Juhari Moain (2006).
Sejarah bahasa Melayu . Utusan
Publications. ISBN
9676118095.ISBN 9789676118097
Muslich Shabir.Pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari tentang
zakat: suntingan teks dan analisis
intertekstual.Nuansa Aulia, 2005.ISBN
9799966205 ISBN 9789799966209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar